Wednesday 12 June 2013

Jack dan Bidadari

SEMALAM bidadari itu meninggalkan rumah saya. Dia menendang kursi sebelum membuka pintu depan. Di luar angin kencang sekali. Embusan angin bercampur kemarahan membuat pintu terbanting dengan keras. Suara pintu itu terasa seperti tamparan di wajah saya. Musim dingin sudah datang. Tapi di kota ini tidak ada salju. Di Eropa, sungai dan laut menjelma daratan es. Puluhan orang mati kedinginan. Kereta membeku. Bandara membeku. Dua hari lalu televisi menyiarkan Pangeran Belanda, Johan Frisco, tertimbun longsoran salju waktu main ski di Austria. Dia masih koma. Saya dan Bidadari sering bertengkar, di musim apa pun, tentang apa pun. Dia sering menampar saya, tapi saya tidak pernah membalas tamparannya. Sebenarnya saya ingin membalas. Tapi yang terjadi saya hanya bertahan, tidak melawan. Dia juga melempari saya dengan barang-barang, yang kebetulan ada di dekatnya. Botol saus, gelas, piring, bantal, buku, jambangan bunga, lampu meja, sepatu, kursi…. Dia juga suka mencakar. Bidadari seharusnya tidak mencakar dan tidak punya cakar. Tapi dia mencakar. Memang bidadari yang langka. Sekarang saya bisa tersenyum membicarakannya. Tapi di saat kejadian, dunia ini seperti teraduk-aduk, berantakan sekali. Benda-benda bertaburan di sana dan di sini, seperti telur-telur ayam pecah. Di dinding rumah saya dulu ada lukisan pastel yang bagus. Abstrak. Komposisi warnanya hitam dan putih. Lukisan itu saya beli dari pelukisnya langsung, tetangga saya sendiri. Rumahnya merangkap galeri. Pengunjung mondar-mandir dalam rumah itu. Kami bisa melihat botol-botol selai di meja makan atau piring-piring bekas sarapan yang bertumpuk di bak cucian di dapurnya, atau melewati kamar tidur si pelukis atau kamar tidur anak-anaknya yang terbuka. Lukisan itu sekarang penuh bercak merah saus tomat, berada di gudang. Saya suka sekali lukisan itu. Saya kecewa, tapi Bidadari tidak minta maaf. Kuku-kukunya panjang. Goresannya membuat wajah saya terasa perih. Dia juga pernah meninju mata saya, sehingga saya seperti melihat ada benang-benang hitam kait-mengait, bergumpal-gumpal, melayang-layang di udara sesudahnya, selama beberapa hari. Saya pergi ke kantor dengan mata kiri diperban untuk menyembunyikan bekas ulahnya. Sewaktu rekan kerja saya memandang heran dan ada yang bertanya, ”Kenapa mata kamu, Jack?”, saya menjawab bahwa mata saya dicium bola basket waktu saya main basket. Ciuman panas. Mereka tertawa. Saya tidak melaporkan kejadian ini ke polisi. Bidadari bisa masuk penjara kalau saya melapor. Di lain waktu, saya bertahan dengan melindungi wajah saya dari serangannya dengan kedua tangan saya ini, tapi dia justru makin kalap. Kalau saya diam atau bertahan, dia tambah kalap. Kalau saya belum luka atau lebam, dia belum berhenti. Di hari yang membuat penampilan saya sangat buruk dan perasaan saya lebih kacau dibanding kejadian sebelumnya, saya memutuskan tidak datang ke kantor. Saya seharian di rumah dan kalau bosan, di sore hari saya mampir ke rumah sahabat saya, Tom. Ketika saya katakan bahwa saya seharian di rumah, dia langsung tahu apa yang terjadi. Kadang-kadang Tom bekerja sampai malam. Saya akan pergi ke rumahnya setelah jam makan malam, kemudian kami ngobrol sampai larut. Setelah bertengkar hebat, Bidadari akan mengangkuti semua barangnya ke mobil, membanting pintu depan dan pergi dari rumah saya, seolah-olah dia tidak akan kembali lagi. Setiap selesai bertengkar dengannya, saya benci sekali pada dia, sangat benci. Andaikata mobilnya terguling di jalan dan meledak, saya lebih senang. Artinya, hubungan kami benar-benar selesai. Tapi beberapa hari kemudian dia akan menghubungi saya dan saya menerimanya lagi. Dia membawa barang-barangnya lagi ke rumah, lalu menata semuanya di tempat semula, seperti pegawai museum memajang kembali koleksi yang sempat dicuri. Rumah Tom hanya 10 menit bermobil dari rumah saya. Dia berkali-kali meminta saya tidak lagi berhubungan dengan Bidadari. Kata Tom, sebenarnya Iblis adalah nama yang lebih sesuai untuk pasangan saya. Dia mengkhawatirkan keselamatan saya. Tapi saya tidak tahu cara yang tepat untuk menjauhi Bidadari. Dengan cara seperti menjauhi rokok, Tom memberi usul. Orang yang berhenti merokok kurang dari setengah tahun biasanya masih gampang tergoda untuk kembali merokok dan akan mencandu lebih parah. Orang bisa disebut bebas dari rokok setelah setahun tidak mengisapnya sama sekali. Setelah satu tahun itu berlalu, kamu bahkan tidak berselera lagi melihat rokok, tidak tertarik mencoba sedikit pun. Saya tidak tahu dari mana Tom memperoleh teori semacam itu. Saya dan Bidadari paling lama tidak saling menyapa hanya satu minggu. Kadang-kadang saya membawa Garcia, anjing kecil saya, ke rumah Tom. Garcia senang berada di luar rumah. Dia paling suka taman. Dia selalu menunggu saya pulang dari kantor untuk mengajaknya berjalan-jalan sebentar di halaman belakang atau ke taman dekat rumah. Sekarang dia sengaja saya kunci dalam kamar di lantai atas. Pagi ini saya tidak ingin dia berkeliaran di lantai bawah. Kalau saya dan Bidadari bertengkar di akhir pekan dan itu berkali-kali terjadi, saya memutuskan tidak menjemput putri saya, Anna, untuk menginap di rumah. Saya tidak ingin anak saya melihat ayahnya dalam keadaan berantakan. Anak saya harus mengenang saya sebagai ayah yang menyenangkan, membuatnya tenang dan gembira, bukan membuatnya khawatir dan sedih. Setelah itu saya akan menelepon Sue dan mengatakan bahwa saya sangat sibuk. Saya akan minta tolong kepadanya untuk membiarkan putri kami tinggal dengannya di akhir pekan itu. Seringkali Sue kesal pada saya dan wajar saja dia kesal, karena dia sudah ada janji dengan teman. Dia ingin saya yang menghabiskan waktu akhir pekan dengan Anna, karena akhir pekan adalah giliran saya bersama putri kami. Sue tidak pernah bercerita tentang pacarnya. Saya pikir, dia memang tidak punya pacar. Tapi saya sebetulnya tidak peduli dia punya pacar atau tidak. Sue juga tidak peduli pada saya. Sudah lama dia tidak peduli, sebelum kami akhirnya berpisah. Botol-botol minuman memenuhi tong sampah di dapur. Bir, Vodka, Tequilla….. Bidadari suka minum dan mabuk. Dulu saya jarang minum, tapi sejak saya berhubungan dengannya saya minum makin banyak. Umur saya 50 tahun. Putri saya, Anna, masih belajar di sekolah menengah atas. Sejak saya dan Sue berpisah tiga tahun lalu, putri kami harus membagi waktu untuk tinggal di dua rumah. Di hari Sabtu dan Minggu, Anna menginap di rumah saya. Senin sampai Jumat, dia tinggal bersama ibunya. Saya kesepian dan karena itu, saya memelihara Garcia. Sebelum Bidadari datang, saya sudah memelihara Garcia. Anna menyukai Garcia. Anjing saya mudah akrab dengan orang, sehingga siapa saja yang berkenalan dengannya langsung suka. Tom sebenarnya tidak suka anjing, tapi dia suka Garcia. Kadang-kadang saya mengajak Anna ke rumah Tom. Dulu saya dan Tom bertetangga. Rumah kami bersebelahan waktu saya baru menikah dengan Sue. Persahabatan kami ternyata langgeng, hampir 20 tahun. Tom berpisah dari Lizzy waktu anak mereka, Ricky, berumur delapan tahun. Lizzy menikahi pacarnya sebulan kemudian sesudah mereka bercerai. Tom sempat jadi peminum berat. Dia hancur-hancuran selama setengah tahun. Lizzy kehilangan selera terhadapnya. Tom terlalu suka bahaya. Dia pernah terancam hukuman mati dua kali, disandera pemberontak satu kali dan kena tembak tiga kali. Keuangan saya cukup kacau, setelah Bidadari hadir dalam hidup saya. Tapi saya memang bukan orang pelit. Teman-teman saya menganggap Bidadari hanya mengincar uang saya saja. Saya punya karier yang baik dan pemasukan yang lumayan. Saya merintis karier saya di kantor pemerintah kota. Bidadari kerja di sebuah klab malam. Gajinya tidak banyak. Kami sudah berhubungan selama dua tahun. Di tahun kedua kami berhubungan, dia pindah ke rumah saya. Sebab saya membutuhkan teman. Sejak Bidadari tinggal di rumah, saya jarang mengundang teman-teman saya untuk makan malam di rumah atau mampir di akhir pekan. Bidadari merasa tidak nyaman dengan kehadiran teman-teman saya. Dia merasa mereka mengejeknya di belakang punggungnya. Dia merasa dikucilkan tiap kali kami berkumpul. Itu tidak benar. Tom, meski kesal, justru paling ramah pada Bidadari. Dia senang membantunya menyiapkan makanan. Bidadari jauh lebih muda dari saya. Umurnya baru 30-an. Cantik? Bagi saya, dia menarik. Tapi dia memang tidak pernah keluar rumah tanpa riasan. Lagipula dia bekerja di tempat yang mengharuskannya berpenampilan begitu. Secara fisik, dia laki-laki, sama seperti saya. Tapi dia merasa perempuan. Sebenarnya orang-orang di kota ini ramah, bahkan kepada orang asing seperti kamu. Tidak seharusnya saya kesepian. Saya juga punya teman-teman baik. Tom sering menemani saya sarapan pagi di kedai kopi kesukaan kami atau menemui saya di jam makan siang, tapi bagaimana pun dia punya kehidupan sendiri. Kedai kopi favorit saya dan Tom, itu asyik sekali. Kedai Mexico. Makanan di sana murah. Saya dan Tom biasa memesan kopi, roti, dan tortilla isi telur dan keju. Tidak sampai enam dollar. Hari ini saya sengaja tidak sarapan di kedai kopi yang sama. Aneh rasanya Tom tidak akan sarapan lagi bersama saya di sana. Dua minggu lalu dia meninggal di Suriah, karena bom meledak. Dia sedang mewawancarai orang waktu itu. Di kedai ini makanan juga enak. Saya pernah makan di sini satu kali, dengan Tom dan anaknya, Ricky. Kalau Ricky lebih suka kedai kopi yang ini. Dia menawari saya untuk memesan eggs benedict waktu itu. Sekarang saya memesan eggs benedict lagi. Ricky anak yang baik dan perasa. Dia juga pintar masak. Saya suka beef brisket buatannya. Dia pasti sangat kehilangan ayahnya. Saya ingin panjang umur untuk putri saya, Anna. Besok saya ada janji dengan Ricky untuk menemaninya di rumah. Saya benar-benar berantakan. Tapi saya harus menemaninya. Apakah blueberry pancake kamu enak? Tidak terlalu manis? Saya tidak suka makanan manis. Kalau sudah berumur seperti saya, sebaiknya kamu mengurangi makanan yang manis-manis. Kamu sering sarapan di sini? Kamu beruntung kuliah di kota ini. Orang-orangnya ramah pada orang asing. Terhadap orang-orang Asia, tidak ada masalah. Tapi orang hitam dan Hispanik mengalami diskriminasi. Mereka dianggap sering membuat masalah. Kemiskinan dan kejahatan sering dalam satu paket. Tapi siapa yang tidak mudah naik pitam, kalau lapar? Saya tidak bisa berpikir di saat lapar. Eggs benedict ini porsinya terlalu besar. Dua telur. Kolesterol saya bisa naik. Kamu mau satu? Dulu saya mengira Bali itu satu negara tersendiri. Ternyata itu bagian dari Indonesia juga ya? Mudah-mudahan saya bisa ke sana. Saya tahu wajah saya berantakan sekali. Mata saya bengkak? Saya hanya tidur dua jam tadi malam, kemudian tidak tidur lagi sampai pagi. Hari ini saya tidak akan masuk kantor. Saya benar-benar pusing. Menurut kamu, apa yang harus saya lakukan kalau kejadiannya seperti ini. Semalam, setelah Bidadari pergi, saya sempat tertidur dua jam. Tiba-tiba telepon seluler saya berbunyi keras. Bidadari datang lagi. Dia sudah di pintu depan, dia mengatakannya dengan nada datar. Saya pikir, ada barang yang ketinggalan. Dia minta saya segera membuka pintu. Saya turun ke lantai bawah, membuka pintu. Dia langsung menerobos masuk, lalu menodongkan pistol ke arah saya. Wajah Anna terbayang. Saya tidak mau mati. Saya membujuk Bidadari untuk meletakkan pistol di meja, lalu kami bicara. Dia tidak mau. Dia menarik pelatuk, membidik ke arah saya. Meleset. Kena dinding. Pistolnya berperedam. Dia berancang-ancang untuk menembak lagi. Saya secepat kilat melempar jambangan perunggu ke arahnya. Dia terjatuh. Kepalanya menghantam meja marmer. Dia pingsan. Saya tidak berpikir panjang lagi, langsung mengikat kaki dan tangannya. Mulutnya saya sumpal dengan beberapa serbet. Dia sekarang di rumah, di ruang tamu. Pistolnya saya masukkan ke dalam kantong plastik yang biasa dipakai untuk menyimpan makanan di kulkas. Setelah itu saya mengendarai mobil keliling kota, sampai pagi, sampai kedai kopi ini buka. Saya akan menelepon polisi sesudah sarapan. Nama saya, Jack. Kamu? Rati? Rati-h? Di bioskop, film Almodovar yang baru sedang diputar. Kamu mau menonton nanti malam? Ajak teman-teman kamu juga. Saya traktir. Huuuhh…. Udara di luar dingin sekali.

Perempuan Balian

Sebelum peristiwa malam itu yang akan kuceritakan nanti, Idang dikenal sebagai perempuan kurang waras. Kerap mengamuk kesurupan, dan meracau menceritakan tentang mimpi-mimpinya yang aneh. Kepada orang-orang ia sering mengatakan, ”Ada ular-ular besar menyusup dalam mimpiku. Ular itu bukan mimpi, tapi ular yang menyusup dalam mimpiku. Dalam mimpi juga aku sering bertemu Ayah.” Idang memang tak seperti kebanyakan perempuan lainnya yang hidup di pegunungan Meratus. Ia suka memanjat pohon, hal yang hanya pantas dan perlu kekuatan seperti dimiliki anak laki-laki. Ia juga kerap melakukan perjalanan sendiri ke hutan-hutan terdalam, hutan-hutan terlarang. ”Aku banyak menemukan makhluk-makhluk aneh di sana. Mereka bersahabat,” ceritanya kepada teman-teman sebaya, yang karena cerita semacam itu pula menyebabkan ia perlahan-lahan dijauhi teman-temannya. Namun ia mengaku tak pernah merasa kesepian. ”Teman-temanku di dunia lain jauh lebih banyak,” seseorang bercerita kepadaku menirukan ucapannya. Tabiat ini kemudian dikait-kaitkan orang dengan almarhum ayahnya yang seorang balian, seorang dukun kesohor. Ayahnya dikenal sebagai panggalung, dukun sakti yang karena karismanya sanggup memanggil, mengikat, dan mendatangkan orang-orang dari kampung-kampung jauh. Ayahnya meninggal kala ia usia 12 tahun. Ibunya lebih dulu tiada, tak tertolong saat melahirkannya. Entah dari mana mulanya, kenyataan itu membuat Idang dianggap sebagai pembawa kemalangan dalam hidup. Dengan hidup hanya ditemani nenek dari ibunya, Idang tumbuh menjadi perempuan pendiam, penyendiri. Dan bila pun ia bicara dan bercerita kepada anak-anak sebayanya, maka itu adalah cerita tentang mimpi-mimpi, tak jauh dari cerita tentang ular dan ayahnya. *** Balai Atiran terang benderang. Orang-orang mulai berdatangan memasuki rumah besar panggung itu. Enam keluarga yang berdiam di dalam balai, sudah sejak gelap pertama duduk di depan pintu bilik masing-masing yang tampak gelap seperti goa, hingga pintu yang terbuka itu layaknya kain hitam yang menempel di dinding balai. Mereka menjamu, menjadi tuan rumah aruh yang dihelat di tengah-tengah ruang balai yang malam itu berbilas cahaya dari lima lampu petromaks. Barisan-barisan tamu dari bukit-bukit jauh silih bergantian datang. Arak-arakan kecil itu sebagian datang dengan berpenerang obor, sinter, atau hanya mengandalkan terang langit di atas jalan yang membelah hutan pegunungan Meratus. Malam tak berbulan. Kaki-kaki tak beralas menapaki jalan-jalan basah dibasuh sebelum menaiki tangga balai sepuluh undakan. Tua muda, laki perempuan, dan anak-anak. Di antara mereka ada yang membawa hasil kebun: kemiri, keminting, atau sayuran yang diberikan kepada ibu-ibu dan dara-dara yang bekerja di dapur mempersiapkan jamuan. Ada dua ekor babi yang telah dikorbankan untuk upacara, dan setengah karung beras dimasak di dalam sebuah kuali besar. Para undangan sudah mulai memenuhi ruangan balai. Duduk berlapis-lapis membentuk segi empat sepanjangan ruang balai yang polos, hingga mempertegas tiang-tiang kurus ulin balai yang menjangkau langit-langit tinggi. Hanya ruang segi empat kecil di tengah-tengah balai yang dibiarkan terbuka, dengan segenap syarat-syarat upacara: menyan dan sebilah keris tua telanjang jangkung kehitaman. Seorang lelaki tua namun terlihat penuh wibawa duduk bersila. Kepalanya dibebat kain. Sementara mulutnya tak henti mengembuskan asap tembakau yang dilinting kulit jagung kering. Dialah damang, yang konon usianya sudah lebih satu abad. Wajahnya yang penuh kerutan waktu mengingatkan pada rekahan-rekahan batang pohon tua dalam hutan terdalam. Damang Itat, begitulah orang-orang Meratus memanggilnya, yang malam itu akan menjadi pemimpin upacara aruh. Segala berpusat pada lingkaran tari di tengah. Berputar-putar. Bergelombang. Menyedot seperti kitaran angin limbubu. Diam yang mengalir dalam mantra-mantra dan tarian purba. Pada apa kata menjadi sakti. Tiga lelaki terus bergerak. Kadang seperti melayang, membayang, tak berpijak tanah, tak berpijak bumi, mengambung dalam kisaran waktu yang terus beringsut susut. Tiga tubuh terus berputar-putar dalam tarian. Madah-madah dinyanyikan merasuk dalam rampak tabuh gendang dan denting gelang. Seperti suara alam yang tak pernah terduga. Mengentak. Melenting tajam menembus langit-langit balai. Menggetarkan udara yang berkibar-kibar dalam satu ruang. Tubuh-tubuh liat lepas, tak mengenal jeda, tak mengenal kantuk, tak mengenal tanah pijak. Mereka para balian yang menjalankan ritual pengobatan untuk seonggok tubuh yang terkulai layu di tengah-tengah balai, tempat segala sesembahan diluahkan. Balai itulah cahaya benderang satu-satunya di belahan hitam hutan Kalimantan Selatan yang sebenarnya tak lagi perawan. Sebuah kampung kecil, yang malam itu menghelat upacara ritual untuk si sakit. Tubuh kecil kurus anak usia empat tahun itu seperti kehilangan daging dan air. Hanya tulang-tulang berbalut kulit kering layaknya kulit kayu tua mengerut keras, yang cepat meretas seperti ilalang terbakar di musim kemarau yang mengerontangkan ceruk kehidupan. Warna kulitnya kuning serupa kunyit. Hanya matanya masih menyimpan kilat hidup, meski juga sudah meredup dalam napas yang beringsut ingin melepaskan rongga dadanya yang tipis, membayangkan keretak kayu lapuk. Jari-jari sapu lidinya menjentik pelan pada lantai beralas lampit, mengikuti irama tari tiga balian. Diisap buyu, penyakit menakutkan yang mengakrabi tubuh kecil tergolek di tengah-tengah balai. Tubuh yang diisap buyu adalah seperti merentangkan hidup di antara kematian. Darah, daging, dan air yang menjadi sumber tubuh menjadi tercemar dan kering, serupa hutan kehilangan keperawanannya menjadi ranggas dimakan hantu-hantu besi bernama buldoser dan gergaji dengan sang kendali pemakan segala; manusia. Sudah satu bulan tubuh kecil itu tak berdaya dalam pagutan buyu. Sudah tiga hari tiga malam tiga balian seolah terbang menari-nari mengusir sang buyu yang betah menghuni tubuhnya. Sebuah pengobatan yang dipercaya turun-temurun dapat mengusir roh jahat dalam tubuh si sakit. Namun, sudah tiga hari tiga malam ritual pengobatan dijalankan, roh jahat di tubuh si anak tak jua pergi. Segala permohonan dan doa telah dihaturkan para balian kepada sang ilah. Segala syarat: gula, beras, ayam, bubur, kopi, menyan, telah dipersembahkan. Si sakit tetap terkulai. Dingin tubuhnya, terkatup matanya. Tinggal jari sapu lidinya menjentik-jentik lantai. Tiga balian masih menari beriringan, berputar-putar dalam rampak gendang dan denting gelang yang tiada sepi. Seorang ibu muda yang telah kehabisan air mata terduduk lemas di sudut belakang balai. Kantung matanya menebal, rambut terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak tersisir tangan dan dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak yang kini nyawanya tengah di awang-awang dalam pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan mantra-mantra. Kepala perempuan itu terkulai miring ke kiri bersandar pada bahu seorang ibu yang menjaganya. Sang ayah, yang duduk di antara para pria di dekat lingkaran upacara, sesekali menengok kepadanya. Hanya karena ia seorang ayahlah yang membuat lelaki itu tetap tegar mendampingi anak semata wayang mereka didera penyakit tak berampunan. Walau jauh di lubuk hati, ia sebenarnya telah mulai memupuk kerelaan bila sewaktu-waktu sang anak diambil sang ilah. Seperti menyibak kegelapan malam, meredam guruh gemuruh suara gelang dan mantra tiga balian, seorang perempuan muda tiba-tiba menghambur ke tengah upacara, menari-menari. Mulutnya merapal mantra-mantra yang tak pernah terbaca oleh balian mana pun juga, dengan diiringi denting gelang di kedua tangannya. Tiga balian lelaki terhenti. Orang-orang tersihir, terpaku menatap dalam keheningan. Hanya perempuan itu, ya, hanya perempuan itu yang menjadi pusat segala gerak, segala hidup. Ia terus berputar-putar, menari, merapalkan mantra dan mendentangkan gelang-gelang berat di kedua tangannya yang kurus panjang. Aduhai, Naik Kuda Sawang, sayang Dibelai angin *) Tak ada seorang pun yang tergerak menghentikan perempuan itu. Hingga akhirnya perempuan muda berambut panjang itu tersungkur ke lantai balai. Seluruh tubuhnya kuyup oleh peluh. Bersamaan itu pula, anak lelaki yang menjadi pusat pengobatan di tengah balai pelan-pelan bergerak seolah ingin bangkit. Orang-orang menyaksikan, kulit sang anak yang semula kering layaknya kulit kayu tua berubah seolah di bawahnya telah mengalir air kehidupan. Butir-butir peluh membasahi wajah dan seluruh tubuhnya. Kuning kunyit kulitnya pun memudar. Perlahan matanya terbuka, bercahaya. Bibirnya, yang meski masih tampak kering, perlahan berucap, ”Ayah….” Panggilannya pelan namun jelas. Seketika saja, orang-orang menghambur ke depan, mendekati tubuh kecil itu. Sang ayah dan ibu langsung memeluk dan menciuminya. ”Anakku… anakku… anakku..,” ucap keduanya sembari menangis dalam kegembiraan mendapati sang anak telah terlepas dari maut. Seolah tersadar, orang-orang kemudian mengalihkan perhatian kepada sosok perempuan muda yang masih tersungkur tak sadarkan diri di lantai. Sekejap saja mulut-mulut bergeremeng seperti sekumpulan laron terperangkap dalam botol. ”Siapakah dia?” ”Dari mana asalnya?” Tubuh itu tetap sepi, tertelungkup dengan rambut panjang tergerai masai. Satu dua orang kemudian tergerak menghampiri, lantas diikuti yang lain, lalu mengangkat tubuh perempuan itu ke salah satu bilik balai dan merebahkannya ke atas kasur tipis. *** Orang sekampung tidak pernah melupakan malam itu. Seorang perempuan terbilang muda tiba-tiba menjadi balian, menjadi dukun. Tidak pernah sebelumnya, sejak nenek moyang, seorang perempuan menjadi balian. Paling tinggi ia hanya menjadi pinjulang, pembantu dukun laki-laki. Tapi malam itu, Idang, seorang perempuan muda yang dianggap gila, menyeruak ke tengah-tengah upacara. Menari-nari, menyanyi, merapalkan mantra-mantra yang sebelumnya tidak pernah dibaca para balian. ”Ini menyalahi adat. Tidak pernah ada seorang perempuan, apalagi perempuan itu dianggap gila, bisa menjadi seorang balian. Ini alamat mendatangkan bencana,” ucap seorang lelaki tua di warung kepada dua lelaki yang lebih muda. Aku, yang meski berseberangan meja dengan mereka, masih dapat mendengarkan ucapan itu. ”Tapi ia telah berhasil menyembuhkan anak itu,” sahut salah satu lelaki muda sembari mengisap rokok. ”Betul, Pak. Saya ikut menyaksikan malam itu,” timpal yang seorang lagi setelah meneguk kopi hitamnya. Dengan wajah agak memerah, orang tua itu berucap, ”Kalian anak muda ini, tahu apa kalian tentang balian. Kalian lihat saja nanti, hutan dan kampung kita ini nantinya akan ditimpa bencana. Dan itu karena perempuan gila yang hendak menjadi balian.” Setelah membayar kopinya, lelaki tua itu pun pergi meninggalkan warung sambil menggerutu, ”Celaka… celaka… celaka.” Setelah lelaki tua itu agak jauh, seorang dari lelaki di warung berucap, ”Mungkin ia kecewa dan malu karena tak mampu menyembuhkan anak itu, meski diupacarai selama tiga malam.” Aku melakukan hirupan terakhir kopiku sebelum bersiap pergi meninggalkan warung. Aku harus segera memulai perjalanan sebelum matahari meninggi. Tugasku selama dua minggu melakukan penelitian, termasuk menyaksikan upacara balian, sudah berakhir. Selama perjalanan meninggalkan kampung di pinggiran hutan pegunungan Meratus itu, benakku terus dihantui cerita tentang Idang perempuan balian, dan lelaki tua di warung yang mengabarkan akan datang bencana di kampung dan hutan mereka. Entah, makna apa yang harus aku pahami. Namun aku tahu, sebentar lagi hutan tak jauh dari kampung itu akan dibongkar oleh sebuah perusahaan besar untuk mengeruk emas hitam dari perutnya. *) Kutipan ”Syair Induang Hiling” dalam buku ”Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan” karya Anna Lowenhaupt Tsing, yang sekaligus mengilhami cerpen ini.

Kabut Ibu

Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api sepercik pun menjilati rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka hanya akan saling berbisik, ”Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk.” *** Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti warna bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar belakang. Ibu terus mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah tengah berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok yang disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama Tuhan. Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar belakang. Ayah meminta kami untuk segera pergi lewat pintu belakang. Ayah meminta kami untuk pergi ke rumah abah (bapak dari ayah) yang terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak terlampau jauh. Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan pematang yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera kami dari laknatnya malam. Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah abah, ibu mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan segelas air putih untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya. Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di luar riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali. Abah menyuruhku untuk segera memejamkan mata. Subuh paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu sambil menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi di kamarnya. Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah pulang duluan, begitu kata abah. Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak tangannya yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang teramat pekat, seperti darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan, membawaku pulang kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lalu lalang orang di depan rumah kami yang kian mengecil dalam pandanganku. Orang-orang itu tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda. ”Mengapa kita tak jadi pulang, Bah?” tanyaku. ”Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu.” Abah tersengal-sengal mengayuh kereta untanya. ”Kotor kenapa, Bah?” Abah terdiam beberapa jenak, ”Ya kotor, mungkin semalam banjir.” ”Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?” ”Ya banjir.” ”Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.” ”Hus!” *** Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang. ”Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian jemput ibumu.” Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini masih membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding papan. Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama sekali abah tak kunjung datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya di depan rumah. Aku mengempaskan napas lega. Menyongsong abah. Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam. Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu sedang sakit. Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah tidak menjawab. Namun, beberapa waktu kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematian—lantaran mereka pernah hidup. Maka serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang di teras rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak menahan ngeri. *** Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah. Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta tak karuan. Pada akhirnya, aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan terdiam lagi. Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang mengantarkan ke kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir rambut, melipat selimut, semua aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak mengerti: kamar ibu selalu berkabut. Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tiba-tiba. Kabut yang selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari matanya selalu mengepul kabut tebal yang tak pernah kami pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari air mata yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah. *** Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah, semenjak kami menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan minuman kami selipkan melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan makanan. Beberapa kali kami menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang sama. Tak tersentuh sama sekali. Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan sama sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan mata kami. Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami tak bisa melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak pintu kamar ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami benar-benar khawatir dengan keadaan ibu. Linggis dan congkel kami siapkan. Beberapa kali kami melemparkan hantaman. Pintu itu bergeming. Kami terus menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah berdebam di tanah. Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar. Perlahan kami mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap. Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di sana. Aneh, kami juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan hilang. Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak juga kami temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun kami berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya. *** Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah kami, sebagaimana ia menelan ibu.

Hening di Ujung Senja

Ia tiba-tiba muncul di muka pintu. Tubuhnya kurus, di sampingnya berdiri anak remaja. Katanya itu anaknya yang bungsu. Kupersilakan duduk sambil bertanya-tanya dalam hati, siapa mereka berdua? “Kita teman bermain waktu kecil. Di bawah pohon bambu. Tidak jauh dari tepi Danau Toba,” katanya memperkenalkan diri. Wau, kataku dalam hati. Itu enam puluh tahun yang lalu. Ketika itu masih anak kecil, usia empat tahun barangkali. “Ketika sekolah SD kau pernah pulang ke kampung dan kita bersama-sama satu kelas pula,” katanya melanjutkan. Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk. Belum juga dapat kutebak siapa mereka. Ia seakan-akan mengetahui siapa mereka sesungguhnya. “Wajahmu masih seperti dulu,” katanya melanjutkan. “Tidakkah engkau peduli kampung halaman?” tanyanya. “Tidakkah engkau peduli kampung halamanmu?” tanyanya membuat aku agak risih. Dulu pernah keinginan timbul di hati untuk membangun kembali rumah di atas tanah adat yang tidak pernah dijual. Pelahan-lahan timbul ingatan di dalam benakku. “Rumah kita dahulu berhadap-hadapan, ya?” kataku. Ia mengangguk. “Kalau begitu, kau si Tunggul?” “Ya,” jawabnya dengan wajah yang mulai cerah. Lalu ia mengatakan perlunya tanah leluhur dipertahankan. “Jangan biarkan orang lain menduduki tanahmu. Suatu saat nanti, keturunanmu akan bertanya-tanya tentang negeri leluhur mereka,” katanya dengan penuh keyakinan. “Kita sudah sama tua. Mungkin tidak lama lagi kita akan berlalu. Kalau kau perlu bantuan, aku akan menolongmu.” “Akan kupikirkan,” kataku. “Nanti kubicarakan dengan adik dan kakak,” jawabku. Pertemuan singkat itu berlalu dalam tahun. Pembicaraan sesama kakak-beradik tidak tiba pada kesimpulan. Masing-masing sibuk dengan urusan sendiri. Dan ketika aku berkunjung ke kampung halaman, kutemukan dia dengan beberapa kerabat dekat lainnya. Kudapati ia terbaring di tempat tidur, di ruangan sempit dua kali dua meter. Beberapa slang oksigen di hidungnya. Ia bernapas dengan bantuan oksigen. Matanya berkaca-kaca sambil mulutnya berkata, “Kudengar kau datang. Beginilah keadaanku. Sudah berbulan-bulan.” Agak sulit baginya berbicara. Dadanya tampak sesak bernapas. Aku tidak mungkin berbicara mengenai tanah itu. Kuserahkan persoalannya kepada keluarga dekat. Dalam kesibukan, waktu jua yang memberi kabar. Seorang kerabat dekat, waktu berjumpa di Jakarta, berbisik padaku, “Tunggul sudah tiada, pada usia yang ke-67.” “Oh, Tuhan,” kataku kepada diriku sendiri. Kami lahir dalam tahun yang sama. Sebelum segala sesuatu rencana terwujud, usia telah ditelan waktu! Giliranku? bisikku pada diriku. *** Rendi selalu datang dalam mimpi. Diam-diam, lalu menghilang. Dahulu ia teman sekantor. Tetapi, karena mungkin ingin memperbaiki nasib, ia mengirim istrinya ke Amerika, justru ingin mengadu nasib. Ia menyusul kemudian, dengan meninggalkan pekerjaan tanpa pemberitahuan. Lewat Bali, Hawaii, ia sampai ke California. Di negeri penuh harapan ini ia memulai kariernya yang baru, bangun subuh dan mengidari bagian kota, melempar-lemparkan koran ke rumah-rumah. Entah apalagi yang dilakukannya, demi kehidupan yang tidak mengenal belas kasihan. Setahun berada di sana, ia kehilangan istrinya, derita yang membawa duka karena kanker payudara. Sepi merundung hidupnya, di tengah keramaian kota dan keheningan pagi dan senja, membuatnya resah. Barangkali hidup tidak mengenal kompromi. Kerja apa pun harus dilakukan dengan patuh. Tetapi usia yang di atas enam puluhan itu cukup melelahkan untuk bertahan hidup. Tiada kawan untuk membantu. Semua bertahan hidup harus berkejaran dengan waktu. Dari agen koran subuh, sampai rumah jompo dari siang sampai senja, lalu pulang ke apartemen, merebahkan diri seorang diri, sampai waktu mengantar subuh dan mengulangi ritual siklus kehidupan. Dari kesunyian hati itu, ia cuti ke tanah air, untuk mencari teman hidup pada usia senja. Tetapi, dalam kesunyian di tanah air, ia mengembara seorang diri, dengan bus dan kereta api. Seperti seorang turis, suatu senja, entah serangan apa yang mendera dadanya, barangkali asmanya kumat. Ia terkulai di ruang hajat. Di sebuah stasiun kereta, petugas mencoba membuka kamar toilet. Menemukan kawan itu dalam keadaan tidak bernyawa. Identitas diketahui dengan alamat di Los Angeles. Petugas stasiun menghubungi nama yang tertera di Los Angeles. Dari Los Angeles datang telepon ke alamat di Bandung. Dari Bandung berita disampaikan kepada anaknya, tetapi kebetulan sedang ke Paris. Jenazah dibawa ke rumah anaknya, dan dimakamkan kerabat dekat yang ada di kota “Y”. Tragis, pada usia ke-64 itu, ia mengembara jauh merajut hidup, tapi ia berhenti dalam kesepian, jauh dari kenalan dan kerabat. Beberapa kenalan saja yang menghantarnya ke tempat istirah. Terlalu sering ia datang di dalam mimpi yang membuatku galau. *** Beberapa waktu kemudian, aku mendapat SMS. Aku berhenti di pinggir jalan ramai dan mencoba membaca berita yang masuk. Lusiana baru saja meninggal dunia. Tutup usia menjelang ulang tahun ke-61. Besok akan dimakamkan. Kalau sempat, hadirlah. Lusiana seorang sekretaris eksekutif yang hidup mati demi kariernya. Ia lupa kapan ia pernah disentuh rasa cinta, sampai cinta itu pun ditampiknya. Menjelang usia renta, ia menyaksikan ayah dan ibunya satu demi satu meninggalkan hidup yang fana. Juga abangnya, pergi mendadak entah menderita penyakit apa. Karier tidak meninggalkan bekas. Tidak ada ahli waris. Kawan-kawan meratapinya, dan melepasnya dalam kesunyian hati. Hening di atas nisannya. Burung pun enggan hinggap dekat pohon yang menaungi makamnya. Tidak biasa aku berlibur dengan keluarga. Kepergian ini hanyalah karena anak yang hidup di tengah keramaian Jakarta, yang berangkat subuh dan pulang menjelang tengah malam dari kantornya. Ada kejenuhan dalam tugasnya yang rutin, membuat ia mengambil keputusan libur ke Bali bersama orang tua. Aku yang terbiasa masuk kantor dan pulang kantor selama puluhan tahun, kerapkali lupa cuti karena tidak tahu apa yang harus dilakukan waktu cuti. Dan kini, aku duduk di tepi laut Hindia, menyaksikan ombak memukul-mukul pantai, dan sebelum senja turun ke tepi laut, matahari memerah dan bundar, cahaya keindahan Tuhan, sangat mengesankan ratusan orang dari pelbagai bangsa terpaku di atas batu-batu. Tiba-tiba ada dering di HP istriku, sebuah SMS dengan tulisan: Tan, Ibu Maria baru saja meninggal dunia. Kasihan dia. Di dalam Kitab Sucinya banyak mata uang asing. Ibu Maria menyusul suaminya yang sudah bertahun-tahun meninggal dunia, dalam usianya yang ke-72. Ia pekerja keras sepeninggal suaminya yang dipensiunkan sebelum waktunya. Suaminya meninggal dalam usia ke-67 saat anaknya berpergian ke luar negeri dan tidak hadir ketika penguburannya. Ibu Maria meninggal mendadak. *** Aku baru saja menerima telepon dari kakakku yang sulung, dalam usianya yang ke-78. Kudengar suaranya gembira, walaupun aku tahu sakitnya tidak kunjung sembuh. Kalimat terakhirnya dalam telepon itu berbunyi: Tetaplah tabah, Dik. Kamu dan anak-anakmu, semua anak cucuku dan buyut, supaya mereka tetap sehat…. Dan tadi pagi, aku teringat. Usia menjelang ke-70, walaupun sebenarnya belum sampai ke situ, aku bertanya-tanya kepada diriku, jejak mana yang sudah kutoreh dalam hidup ini, dan jejak-jejak apakah yang bermakna sebelum tiba giliranku? Aku tepekur. Hening di ujung senja.

Serayu, Sepanjang Angin Akan Berembus…

”Sabarlah, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah ini.” Serayu, seindah apakah senja yang kau bilang mengendap perlahan-lahan di permukaan sungai sehingga tampak air yang hijau itu berangsur-angsur tercampuri warna merah kekuningan dan memantulkan cahaya matahari bundar lalu koyak karena aliran yang menabrak batuan besar dasar sungai? O Serayu, sesedih apakah perasaan seorang wanita yang melihat senja itu dari balik jendela kereta ketika melintas di jembatan panjang sebelum stasiun Kebasen? Sepanjang angin akan berembus, selalu ada cerita tentang wanita kesepian, senja yang menunggunya dalam waktu yang serba sebentar, lalu keheningan pun terjadi meski sesungguhnya gemuruh kereta ketika melintasi jembatan itu bisa terdengar hingga ke batas langit, atau ke dasar sungai. ”Aku melihat senja, lalu memikirkanmu.” Ucap seorang wanita pada kekasihnya. Di sore yang cerah, di tepi jembatan kereta. Keduanya duduk menjuntaikan kaki ke bawah, menikmati embusan angin dan melihat kendaraan berlalu-lalang di jalan berkelok ke arah kota Purwokerto. Di Serayu, panggung seperti disiapkan. Lelaki itu masih menunggu senja yang dimaksud si wanita. Seakan ia tak pernah melihat bagaimana bentuk senja semenjak ia lahir, meski tentu senja pernah melihat lelaki itu, entah di mana. ”Kamu tahu kenapa aku memikirkanmu setiap kali melihat senja?” tanya wanita itu. Si lelaki tak menjawab, toh sebentar lagi pasti wanita itu menjawab pertanyaannya sendiri. ”Karena senja seperti dirimu, pendiam, tapi menyenangkan.” Nah. Serayu, serupa apakah kenangan dalam bungkusan senja yang konon lebih luas dari aliran sungai Gunung Slamet menuju pantai selatan itu? ”Aku tetap suka berada di sini meski kau diam saja.” Begitukah? Lelaki itu memang masih diam. ”Kalau tidak ada kamu, pasti senja membuatku merasa ditimbun kenangan.” Sepanjang angin berembus, wanita itu terus berbicara. Tapi hari masih terang, burung-burung terbang rendah di atas mereka, tak beraturan. Belum waktunya pulang, beberapa burung kecil duduk di besi jembatan, kemudian terbang lagi. Senja belum datang, dan kereta juga belum datang. ”Benarkah ada kereta yang selalu datang ketika senja?” tanya lelaki itu. Mungkin ia gusar dengan keheningannya sendiri. ”Tentu saja.” ”Kereta apa? Kereta senja?” ”Ah, bukan. Jangan terlalu klise, Sayang.” ”Lalu?” ”Hanya kereta, dengan gerbong-gerbong penumpang seperti biasa. Itu saja.” ”Pasti ada namanya. Bahkan kereta barang yang mengangkut minyak pun ada namanya.” ”Ketel maksudnya?” ”Ya.” ”Kalau begitu, anggap saja ini kereta kenangan.” Kenangan lagi. Seperti diksi yang luar biasa picisan, namun kadang sepasang kekasih bisa mengorbankan apa saja untuk sesuatu yang picisan, bahkan pembicaraan selanjutnya seperti tak akan menyelamatkan mereka. Kecuali waktu yang terus susut, jam terpojok ke angka lima. Tapi senja belum turun, belum ada kereta yang melintas di belakang mereka. Alangkah dekatnya mereka dengan rel kereta. Sehingga bisa terbayang jika kereta melintas pasti tubuh keduanya ikut bergetar karena roda besi yang bersinggungan dengan rel baja itu. ”Mungkin kita harus pindah tempat, sedikit menjauh.” Ucap lelaki itu ”Tidak. Dari sini kita bisa melihat senja.” ”Tapi ini terlalu dekat.” ”Tapi kalau kau pindah, nanti aku susah memikirkanmu dalam bentuk yang seperti ini.” Tentu saja. *** Serayu. Sungai besar yang teramat sabar, aliran air memanjang sampai ke penjuru ingatan, ke palung kehilangan, ke laut kasmaran. Sesungguhnya, ada banyak cerita di Serayu. Bukan hanya sepasang kekasih yang duduk di besi jembatan untuk menunggu senja, tapi juga kisah-kisah lain manusia, seorang lelaki yang mendayung perahu ke tengah demi mencari ikan, atau awah-sawah di kejauhan yang tampak menghampar dan hanya terlihat topi-topi petani. Semua itu adalah cerita. Tapi pemandangan Serayu, senja, dan sepasang kekasih mungkin akan menjadi cerita yang paling dramatis. Bisa saja sepasang kekasih itu pada akhirnya akan berpisah, tapi masing-masing dari mereka tak bisa menghilangkan kenangan ketika duduk berdua di jembatan Serayu untuk melihat sesuatu yang setengah tak masuk akal. Seakan-akan mereka sedang mengabadikan cinta dalam hitungan detik terbenamnya matahari. Lalu pada suatu waktu si lelaki akan sengaja kembali ke tempat itu, duduk di sana, demi mengenang wanita itu. Meski mungkin si wanita tak kembali, sebab ia merasa tersakiti jika harus melihat senja di sungai itu lagi. Tetapi, kereta akan tetap melintas, tepat ketika senja, ketika matahari bundar di ujung sungai yang luasnya sekitar 300 meter. Ya, sebentar lagi, sebuah kereta penumpang akan melintasi sungai itu. Serayu. Sungguh nama yang romantis, seorang masinis yang bertugas di kereta itu sedang membayangkan kereta yang dikemudikannya sebentar lagi melintasi jembatan, lalu ia akan membunyikan peluit lokomotif keras-keras, nguooongngng, hingga ia pun teringat dengan kekasihnya di masa lau; seorang wanita penggemar kereta dan senja. ”Aku ingin kelak kau menjadi masinis, dan membawa kereta yang melintasi Sungai Serayu tepat ketika senja.” ”Kau ingin aku jadi masinis?” ”Ya.” ”Artinya aku akan selalu pergi.” ”Aku masih bisa memikirkanmu.” ”Jadi, cinta sudah cukup sempurna jika kita masih bebas memikirkan orang lain?” Sepanjang angin akan berembus, pertanyaan seperti itu seolah tak ada gunanya. Kereta terus melaju, sudah jauh meninggalkan stasiun Notog, memasuki terowongan, lalu menebas hutan yang penuh dengan pepohonan pinus. Baru saja kereta melintasi jalan raya, yang artinya semakin dekat dengan Serayu. Masinis itu tak mengurangi kecepatan, sesaat ia menoleh lewat jendela, melihat ke gerbong-gerbong di belakangnya. Bukan gerbong senja, tentu saja, bukan pula kereta kenangan seperti yang dinamai kekasihnya di masa lalu. Ini hanya kereta biasa. Jembatan sudah terlihat di kejauhan. Masinis itu perlahan menarik rem, sedikit mengurangi kecepatan di tikungan terakhir sebelum melintasi sungai Serayu. Dan beberapa saat kemudian, tampaklah hamparan hijau itu, juga perasaan yang tak ada maknanya lagi. ”Sepanjang angin berembus, akankah kau merindukanku?” Ah, rindu memang seperti paksaan. Ketika kereta semakin dekat ke jembatan Serayu, si masinis melihat sepasang kerkasih yang sedang duduk di salah satu sudut jembatan itu, mereka melambai ke arah kereta, seakan tak pedulidengan kebisingan mesin lokomotif dan suara roda yang bergesekan dengan rel serta besi jembatan. Masinis itu membalas lambaian mereka. Sementara di bagian bagian kanan, warna merah pada langit dengan lapisan awan tipis membentuk garis-garis menggumpal yang artistik dengan warna merah saling tindih. Masinis itu tertegun, seperti itukah senja yang dahulu pernah didambakan kekasihnya? Namun belum selesai kekagumannya, tiba-tiba kejadian aneh terjadi, mesin lokomotif kereta itu mendadak mati, tenaga menurun drastis, kereta pun berangsur-angsur mengurangi kecepatan dan akhirnya berhenti tepat di tengah jembatan, tampak dari barisan jendela, para penumpang di dalam gerbong terkejut, penasaran ada apa, mengapa berhenti di tengah jembatan. Apakah kereta tertahan sinyal masuk sebuah stasiun? Atau ada kejadian luar biasa di depan? Tapi kadang kita tak butuh jawaban untuk sebuah kenangan yang magis, bukan? Kereta itu, barangkali pernah memiliki kekasih pula, yaitu kereta lain yang selalu mengingatkannya tentang senja di mana pun ia melaju, agar berhenti sebentar untuk mengingat ucapan kekasihnya: ”Sabarlah, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah ini.” Notog – Kebasen, 2012

Tangan - Tangan Buntung

Tidak mungkin sebuah negara dipimpin oleh orang gila, tidak mungkin pula sebuah negara sama-sekali tidak mempunyai pemimpin. Selama beberapa hari terakhir, sementara itu, semua gerakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat segera disyahkan sebagai presiden baru. Karena Nirdawat tidak bersedia, maka akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika suhu udara sejuk dan langit kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat mengelilingi rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada memohon, agar untuk kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia menjadi presiden. Akhirnya beberapa di antara mereka masuk ke dalam rumah Nirdawat, lalu dengan sikap hormat mereka memanggul Nirdawat beramai-ramai menuju ke Gedung M.P.R. Sementara itu, teriakan-teriakan ”Hidup Presiden Nirdawat,” terus-menerus berkumandang dengan nada penuh semangat, namun sangat syahdu. Demikianlah, semua anggota M.P.R. menyambut kedatangan Nirdawat, dan segera menggelandang Nirdawat dengan halus dan penuh hormat untuk tampil di mimbar. Ketua M.P.R. pun berpidato, singkat tapi padat. Inti pidato: rakyat sangat merindukan pemimpin yang baik, dan pemimpin yang baik itu tidak lain dan tidak bukan adalah Nirdawat. Maka Jaksa Agung dengan khidmat melantik Nirdawat sebagai Presiden Republik Demokratik Nirdawat (bukan salah cetak, memang presidennya bernama Nirdawat, dan nama negaranya diambil dari nama presidennya). Setelah menyampaikan pidato pelantikannya sebagai Presiden, dalam hati Nirdawat berkata kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan bekerja dengan sebaik-baiknya, dan sebelum masa jabatannya berjalan satu tahun, dia tidak akan pergi ke luar negeri dengan alasan apa pun. Banyak persoalan dalam negeri harus dia hadapi, dan semuanya itu akan diselesaikannya dengan sebaik-baiknya. Namun karena Nirdawat dikenal sebagai pribadi sederhana dan pekerja keras serta tidak mementingkan diri sendiri, maka begitu banyak pemimpin negara berkunjung ke Republik Demokratik Nirdawat, tentu saja khusus untuk menemui Presiden Nirdawat. Hasil pembicaraan dengan sekian banyak pimpinan negara itu mudah diterka: kesepakatan kerja sama dalam perdagangan, pendidikan, kesehatan, industri, dan kebudayaan. Ujung dari semua kesepakatan juga mudah diterka: dengan tulus tapi bersifat mendesak, semua pemimpin negara mengundang Presiden Nirdawat untuk mengadakan kunjungan balasan. Semua kunjungan balasan akan berlangsung paling sedikit tiga hari, karena dalam setiap kunjungan balasan, masing-masing pemimpin negara dengan bersungguh-sungguh menunjukkan kemajuan-kemajuan negaranya, dan juga kekurangan-kekurangan negaranya. Demi kepentingan semua negara, kerja sama harus segera dilaksanakan, juga dengan sungguh-sungguh. Begitu sebuah kunjungan pemimpin asing usai, berita mengenai keengganan Presiden Nirdawat untuk melawat ke luar negeri muncul sebagai berita-berita besar, dan menarik perhatian hampir semua warga negara Republik Demokratik Nirdawat. Akhirnya, dengan berbagai cara, tokoh-tokoh masyarakat sekuler, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh pemuda menyuarakan hati nurani mereka yang tulus, bahwa untuk kepentingan negara dan bangsa, Presiden Nirdawat benar-benar diharapkan untuk memenuhi undangan sekian banyak pimpinan negara-negara asing itu. Desakan demi desakan terus berlangsung. Terceritalah, setelah malam tiba, dalam keadaan lelah Presiden Nirdawat masuk ke kamar tidur, dipeluk oleh isterinya, kemudian digelandang ke dekat tempat tidur. Dengan lembut isterinya memberinya beberapa ciuman, kemudian melepas baju Nirdawat, lalu melepas kaos dalam Nirdawat, dan akhirnya menelungkupkan tubuh Nirdawat di tempat tidur. Kemudian, dengan lembut pula isterinya memijit-mijit punggung Nirdawat. ”Nirdawat, cobalah kita kenang kembali masa-masa pacaran kita dulu. Kita berjalan-jalan di kampus, duduk-duduk di rumput, kemudian berjalan lagi ke bawah pohon jejawi, dan berbincang mengenai keinginan-keinginan kita. Bagi kita itulah keinginan biasa, tapi bagi teman-teman, keinginan itu merupakan cita-cita mulia.” ”Cobalah kita tengok peta dunia ini,” kata Nirdawat dalam sebuah pertemuan dengan teman-temannya setelah membentangkan sebuah peta dan menggantungkannya di dinding. Bagi mereka yang tidak pernah menghadiri pertemuan itu, amat-amatilah nama sekian banyak negara dalam peta, maka tampaklah sebuah negara yang namanya beberapa kali berubah. Setelah sekian lama nama ini berubah, akhirnya negara ini punya nama baru, yaitu Republik Demokratik Dobol, lalu berubah menjadi Republik Demokratik Abdul Jedul, lalu disusul oleh nama baru lain, yaitu Republik Demokratik Jiglong. Bukan hanya itu. Ternyata bendera negara ini juga berubah-ubah sesuai dengan nama negaranya. Maka pernah ada bendera dengan gambar seseorang berwajah beringas bernama Dobol, lalu ada bendera dengan gambar Abdul Jedul dengan wajah garang, disusul oleh bendera bergambarkan wajah tolol Jiglong. Mengapa nama negara dan benderanya berubah-ubah, padahal negaranya sama? Tidak lain, jawabannya terletak pada kebiasaan di negara itu: dahulu, ketika bentuk negara ini masih kerajaan dan tidak mempunyai undang-undang dasar, ada kebiasaan untuk menamakan negara itu sesuai dengan nama rajanya. Yang mewakili nama raja, dengan sendirinya adalah wajah raja, dan karena itulah, maka bendera negara juga disesuaikan dengan wajah rajanya. Menurut cerita, seorang jendral kerajaan bernama Dobol berhasil menggulingkan kekuasaan raja terakhir, dan bentuk negara pun berubah menjadi Republik Demokratik. Republik karena negara tidak lagi dipimpin oleh raja tapi oleh presiden, dan demokratik karena siapa pun berhak menjadi presiden asalkan memenuhi syarat. Maka, negara yang dulu diatur oleh kebiasaan tanpa undang-undang, semenjak Dobol menjadi presiden, kebiasaan pun diganti dengan undang-undang dasar. Karena Dobol beranggapan bahwa undang-undang dasar tidak boleh seluruhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, maka dalam undang-undang yang kata Dobol bersifat sementara itu pun dengan tegas mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara disesuaikan dengan nama presiden. Bendera negara pun, mau tidak mau, harus menampilkan wajah presiden. Karena dalam kebiasaan lama masa jabatan raja tidak ada batasnya, maka, supaya undang-undang dasar tidak sepenuhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, dalam undang-undang dasar negara republik demokratik ini, pasal mengenai masa jabatan presiden pun tidak perlu dicantumkan. Demikianlah, Dobol menjadi Presiden Republik Demokratik Dobol, dan karena masa jabatan presiden tidak ada pasalnya dalam undang-undang dasar, maka Dobol pun menjadi presiden sampai lama sekali, sampai akhirnya Sang Takdir menanam sebuah biji bernama tumor ganas dalam otak Dobol. Meskipun akhirnya lumpuh total, semangat Dobol untuk patuh kepada undang-undang dasar masih menyala-nyala dengan semangat penuh. Dalam undang-undang dasar dinyatakan dengan tegas, siapa pun berhak menjadi presiden, asalkan memenuhi syarat. Dan seseorang yang memenuhi syarat, tidak lain adalah Abdul Jedul bukan sebagai anak Dobol, tetapi sebagai warga negara biasa yang kebetulan adalah anak presiden negara republik demokratik ini. Demikianlah, maka Abdul Jedul menjadi Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, sampai akhirnya Sang Takdir mengulangi tugasnya sebagai penguasa hukum alam: sebuah bibit tumor ganas disisipkan ke dalam otak Abdul Jebul, dan tamatlah riwayat Abdul Jebul. Karena, sebagaimana halnya Dobol, Abdul Jedul juga sangat setia dengan undang-undang dasar negara yang kata Dobol dulu bersifat sementara, maka jatuhlah kekuasaan presiden republik demokratik ini ke tangan Jiglong, seseorang yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden bukan karena dia anak Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, tapi karena sebagai warga negara biasa dia benar-benar memenuhi syarat untuk menjadi presiden. Kebetulan Jiglong anak manja, malas, suka foya-foya, dan tentu saja suka main perempuan, dan karena merasa kekuasaan dan hartanya tidak mengenal batas, maka berjudi pun dia lakukan dengan penuh semangat. Setelah Jiglong merusak negaranya sendiri selama beberapa tahun, maka Sang Takdir pun mulai melakukan gerilya: kali ini tidak dengan jalan menanamkan bibit tumor ke dalam otak, tapi membuat otak Jiglong sedikit demi sedikit miring. Maka Jiglong pun tidak bisa lagi membedakan siang dan malam, dekat dan jauh, langit dan bumi, dan yang lebih payah lagi, Jiglong tidak bisa membedakan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan. Maka, diam-diam Jiglong suka keluyuran sendiri di kampung, berusaha memperkosa perempuan, tapi ternyata laki-laki. Para pengawal pribadi dia pun sudah agak acuh tak acuh. Akhirnya, penggulingan kekuasaan pun terjadi, tanpa tahu siapa pemimpinnya, dan tanpa pertumpahan darah sama sekali. Tanpa diketahui siapa yang memberi komando, tahu-tahu Jiglong sudah diringkus dan dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Juga tanpa diketahui siapa yang memberi komando, sekonyong-konyong serombongan anak muda merebut stasiun televisi dan radio, lalu secara spontan mengumumkan bahwa sejak saat itu nama negara diganti dengan Republik Demokratik Nirdawat, dengan bendera berwajahkan Nirdawat. ”Kau harus melakukan sesuatu, Nirdawat, sekarang juga. Aku selalu mendampingimu,” kata isterinya dengan lembut, lalu menciumi Nirdawat lagi dengan lembut pula. Keesokan harinya keluar Dekrit Presiden, terdiri atas tiga butir, yaitu mulai hari itu nama negara diganti dengan nama baru yang tidak boleh diubah-ubah lagi, yaitu Republik Demokratik Nusantara. Itu butir pertama. Butir kedua, bendera Republik Demokrasi Nusantara harus diciptakan dalam waktu sesingkat-singkatnya, tanpa mencantumkan wajah siapa pun juga. Dan butir ketiga, masa jabatan presiden dibatasi paling banyak dua periode, masing-masing periode lima tahun. Lagu kebangsaan, seperti yang lalu-lalu, tinggal diganti liriknya. Dulu nama raja dipuja-puji, lalu nama Dobol diangkat-angkat setinggi langit, disusul dengan pujian-pujian kepada Abdul Jedul. Terakhir, nama Jiglong dijejalkan ke dalam lagu kebangsaan, tentu saja dengan gaya puja-puji. Sekarang nama orang dihapus, diganti dengan nama negara, yaitu Republik Demokratik Nusantara. Maka, sesuai dengan tugasnya, mau tidak mau Nirdawat sering melawat ke luar negeri. Dalam sebuah perjalanan pulang dari kunjungan ke beberapa negara di Amerika Latin, dalam pesawat Presiden Republik Demokratik Nusantara memberi penjelasan kepada wartawan. ”Sebagaimana kita ketahui bersama, semua kepala negara dan pejabat penting yang kita kunjungi pasti memuji-muji kita. Republik Demokratik Nusantara adalah negara hebat, perkembangan ekonominya luar biasa menakjubkan, dan presidennya pantas menjadi pemimpin dunia. Coba sekarang jelaskan, makna pujian yang sudah sering saya katakan.” ”Pujian hanyalah bunga-bunga diplomasi,” kata sekian banyak wartawan dengan serempak. Mereka ingat, pada masa-masa lalu, semua pujian kepada negara mereka dari mana pun datangnya, dianggap sebagai kebenaran mutlak. Negara mereka memang benar-benar hebat, perkembangan ekonominya sangat mengagumkan, dan presiden negara ini benar-benar pantas menjadi pemimpin dunia. Terceritalah, di bawah pimpinan Presiden Nirdawat, Republik Demokratik Nusantara makin melebarkan sayapnya: sekian banyak duta besar ditebarkan di sekian banyak negara yang dulu sama sekali belum mempunyai hubungan. Presiden Nirdawat, dengan sendirinya, harus hadir tanpa boleh diwakilkan. Namun sayang, masih ada satu negara lagi yang belum terjamah oleh Republik Demokratik Nusantara, padahal negara ini terkenal makmur dan pemimpin-pemimpinnya hebat-hebat, setidaknya berdasarkan catatan-catatan resmi. Para pemimpin sekian banyak negara berkali-kali memuji keramahan penduduk negara itu, keindahan alam negara itu, dan kemakmuran negara itu. Maka, setelah waktunya tiba, datanglah Presiden Nirdawat ke negara itu. Laporan tlisik sandi ternyata benar: di negara yang sangat makmur ini, banyak pemimpin bertangan buntung. Hukum memang tegas: barang siapa mencuri uang rakyat, harus dihukum potong tangan. Dan Presiden Nirdawat dari Republik Demokratik Nusantara pun sempat terkagum-kagum: ternyata, para pemimpin buntung justru bangga. Kendati mereka kena hukuman potong tangan, mereka tetap bisa menjadi pemimpin, dan tetap dihormati. About these ads

Tuesday 11 June 2013

Dua Wajah Ibu

Perempuan tua itu mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas ubun-ubunnya. Di langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau, dan merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang. Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu. Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang. Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal. Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar, kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik, menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun. Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam jamur kuping yang mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya. Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya yang tak pernah pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta yang kerap diceritakan orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang sangat asing, aneh, dan begitu menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak Sangkut, dan beberapa perempuan kampung karibnya, lepas perempuan-perempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis mereka. Sesuatu yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis, serba tak bisa ia bayangkan. ”Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak,” itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya. ”Dengan siapa Mak ke situ?” lontarnya. Ada keinginan yang menyeruak seketika di dada Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat Jakarta. Ibu kota yang telah dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan ke sana, walau anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua gadisnya yang telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota itu. Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu Jamal memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya. ”Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit Emak dululah. Nanti, bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan kukembalikan ongkos Emak ke sini,” itulah janji anak lanangnya sebelum mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok seperti radio tua itu terputus. Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta, di semak-belukar kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya. *** Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata lamurnya menggerayangi terminal bus Kampung Rambutan. Sedetik kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya itu: Kota bacin dan berbau pesing. Hidung tuanya demikian menderita ketika membaui bau tak sedap itu. Hatinya bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian menikmati bau itu. Hidung pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja mengembang-embang, seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu tercium melati. Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas di bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus reot yang berjalan macam keong, beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya dan Kurti, macam lalat, berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya. Cupingnya pun ikut pening dengan orang-orang yang berbicara tak jelas pada Kurti, gadis itu diam tak menggubris, hanya menyeret Mak Inang pergi. Mak Inang kembali memeras beberapa popok yang ia cuci, sekaligus. Telapak kaki kanannya yang kapalan cepat-cepat menampari betis kirinya begitu beberapa nyamuk membabi-buta di kulit keringnya. Ia menghempaskan popok yang sudah diperasnya itu ke dalam ember plastik. Jemari tangannya menggaruk-garuk betis kirinya. Bentol-bentol sebesar biji petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia menggeram. Hatinya menyumpah-serapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu. Dua-tiga hari pertama, Mak Inang cukup senang berada di rumah berdinding batu setengah triplek Jamal. Rasa senangnya itu bersumber dari cucu bujangnya yang masih merah itu. Walau, sesungguhnya Mak Inang terkaget-kaget saat Kurti mengantarnya ke rumah Jamal. Semua di luar otak tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih, Jamal berada di rumah-rumah beton yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah kecil sepengap ini. Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di subuh buta. Hanya ada satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu. Itu pun baunya sangat memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya. ”Mak hendak pulang, Mal. Sudah seminggu, nanti pisang Emak ditebang orang, karet pun sayang tak disadap,” lontar Mak Inang di pagi yang tak bisa ia tahan lagi. Ia benar-benar tak ingin berlama-lama di ibu kota yang sungguh aneh baginya. Sesungguhnya, Mak Inang pun aneh dengan orang-orang yang saban hari, saban minggu, saban bulan, dan saban tahun datang mengadu nasib ke kota ini. Apa yang mereka cari di rimba bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi kucing ini? Mak Inang tak bisa menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban. ”Akhir bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir bulan, sekarang tengah bulan. Tak bisa. Pabrik juga tengah banyak order, belum bisa aku kawani Mak jalan-jalan mutar Jakarta,” ujar Jamal sembari menyeruput kopi hitam dan mengunyah rebusan singkong. Singkong yang Mak Inang bawa seminggu silam. Mak Inang tak bersuara. Hatinya terasa terperas dengan rasa yang kian membuatnya tak nyaman. ”Kurti libur hari ini, Mak. Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya. Nanti kuminta ia mengawani Mak jalan-jalan. Ke mal, ke rumah anak Wak Sangkut dan Wak Rifah,” terdengar suara Mai, menantunya, dari arah dapur yang pengap. Mak Inang mengukir senyum semringah mendengar itu. Rasa tak nyaman yang menggiring keinginannya untuk pulang mendadak menguap. Kembali cerita Mak Rifah dan Mak Sangkut tentang Jakarta mengelindap. Gegas sekali perempuan tua itu menyalin baju dan menggedor-gedor pintu kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu dengan mata merah-sembab, muka awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak Inang tak peduli mata mengantuk Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi dan menemaninya keliling Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama ini hanya ada dalam cerita karib sebaya dan pikirannya saja. Serupa kali pertama Kurti mengantarnya ke muka kontrakan anak lanangnya, seperti itulah keterkejutan Mak Inang saat menjejakkan kaki di kontrakan anak Mak Sangkut dan Mak Rifah. Tak jauh berupa, tak ada berbeda. Kontrakan anak karib-karibnya itu pun sama-sama pengap dan panas. Hal yang membuat Mak Inang meremangkan kuduknya, gundukan sampah berlalat hijau dengan dengungan keras, bau menyengat, tertumpuk hanya beberapa puluh meter saja. Kepala Mak Inang berdenyut-denyut melihat itu. Lebih-lebih saat menghempaskan pantatnya di lantai semen anaknya Mak Sangkut. Allahurobbi, alangkah banyak cucu Mak Sangkut, menyempal macam rayap. Berteriak, menangis, merengek minta jajan, dan tingkah pola yang membuat Mak Inang hendak mati rasa. Hanya setengah jam Mak Inang dan Kurti di rumah itu, berselang-seling cucunya Mak Sangkut itu menangis. Kebingungan Mak Inang pada orang-orang yang saban waktu datang ke Jakarta untuk mengadu nasib kian besar saja. Apa hal yang membuat mereka tergoda ke kota bacin lagi pesing ini? Segala apa yang ia lihat satu-dua pekan ini, tak ada yang membuat hatinya mengembang penuh bunga. Lebih elok tinggal di kampung, menggarap huma, membajak sawah, mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak Inang. *** Tangan Mak Inang kembali menekan-nekan tuas pompa, air keruh dengan bau karet yang menyengat kembali berjatuhan ke dalam bak plastik. Kadang besar, kadang kecil, seiring dengan tenaganya yang timbul tenggelam. Lagi, Mak Inang membilas cucian pakaian cucu, menantu, anak lanang, dan dirinya sendiri. Mendadak Mak Inang telah merasa dirinya serupa babu. Di petang temaram bernyamuk ganas, ia masih berkubang dengan cucian. Di kampung, waktu-waktu serupa ini, ia telah bertelekung dan gegas membawa kakinya ke mushola, mendahului muadzin yang sebentar lagi mengumandangkan adzan. Lampu benderang. Serentak. Seperti telah berkongsi sebelumnya. Berkelip-kelip macam kunang-kunang di malam kelam. Lagi, terdengar suara desingan tajam di atas ubun-ubun Mak Inang. Ia pun kembali mendongakkan wajah, mata lamurnya melihat lampu merah, kuning, hijau berkelip-kelip di langit temaram. Nyamuk-nyamuk pun kian ganas dan membabi-buta menyerang kulit keringnya. Wajah Mak Inang kian mengelap, hatinya menghitung-hitung angka di almanak dalam benak. Berapa hari lagi menuju akhir bulan? Rasa-rasanya, telah seabad Mak Inang melihat muka Jakarta yang di luar dugaannya. Benak Mak Inang pun hendak bertanya: Mengapa kau tak pulang saja, Mal? Ajak anak-binimu di kampung saja. Bersama Emak, menyadap karet, dan merawat limas. Tapi, mulut Mak Inang terkunci rapat. Malam di langit ibu kota merangkak bersama muka Mak Inang yang terkesiap karena seekor tikus got hitam besar mendadak berlari di depannya. Keterkejutan Mak Inang disudahi suara adzan dari televisi. Perempuan itu kembali menekan tuas sumur pompa, air mengalir, jatuh ke dalam ember plastik. Ia membasuh muka tuanya dengan wudhu. Bersamaan dengan itu, mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun hendak mencuci muka kotornya dengan wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang telah keriput, mengkerut, dan carut-marut.